A. Definisi Ekonomi
Islam
Ekonomi Islam
adalah teori atau hukum-hukum dasar yang menjelaskan perilaku-perilaku antar
variabel ekonomi dengan memasukkan unsur norma ataupun tata aturan tertentu
(unsur Ilahiah). Oleh karena itu, Ekonomi Islam tidak hanya menjelaskan
fakta-fakta secara apa adanya, tetapi juga harus menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan, dan apa yang seharusnya dikesampingkan (dihindari).
Menurut Adi Warman Karim (2003: 6), dengan demikian, maka Ekonom Muslim, perlu mengembangkan suatu ilmu ekonomi yang khas, yang dilandasi oleh nilai-nilai Iman dan Islam yang dihayati dan diamalkannya, yaitu Ilmu Ekonomi Islam.
Sebuah sistem ekonomi yang juga menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan aturan syariah sebagai variabel independent (ikut pengambilan keputusan ekonomi), yang berasal dari Allah Swt. meliputi batasan- batasan dalam melakukan kegiatan ekonomi. Proses integrasi norma dan aturan syariah ke dalam ilmu ekonomi, disebabkan adanya pandangan bahwa kehidupan di dunia tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan di akhirat. Semuanya harus seimbang karena dunia adalah sawah ladang akhirat. Return (keuntungan) yang kita peroleh di akhirat, bergantung pada apa yang kita investasikan di dunia.
Menurut Adi Warman Karim (2003: 6), dengan demikian, maka Ekonom Muslim, perlu mengembangkan suatu ilmu ekonomi yang khas, yang dilandasi oleh nilai-nilai Iman dan Islam yang dihayati dan diamalkannya, yaitu Ilmu Ekonomi Islam.
Sebuah sistem ekonomi yang juga menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan aturan syariah sebagai variabel independent (ikut pengambilan keputusan ekonomi), yang berasal dari Allah Swt. meliputi batasan- batasan dalam melakukan kegiatan ekonomi. Proses integrasi norma dan aturan syariah ke dalam ilmu ekonomi, disebabkan adanya pandangan bahwa kehidupan di dunia tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan di akhirat. Semuanya harus seimbang karena dunia adalah sawah ladang akhirat. Return (keuntungan) yang kita peroleh di akhirat, bergantung pada apa yang kita investasikan di dunia.
B. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Bagian pertama (nilai universal) yang menjadi teori dari ekonomi islam dan menjadi landasan ekonomi islam yaitu:
- Tauhid (keesaan Tuhan), merupakan pondasi ajaran Islam. Segala sesuatu yang kita perbuat di dunia nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Sehingga termasuk didalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis nantinya akan dipertanggungjawabkan juga.
- ‘Adl (keadilan). Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Adil yang dimaksud disini adalah tidak menzalimi dan tidak dizalimi, sehingga penerapannya dalam kegiatan ekonomi adalah manusia tidak boleh berbuat jahat kepada orang lain atau merusak alam untuk memperoleh keuntungan pribadi.
- Nubuwwah (kenabian). Setiap muslim diharuskan untuk meneladani sifat dari nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang patut diteladani untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam bidang ekonomi yaitu : Siddiq (benar, jujur), Amanah (tanggung jawab, kepercayaan, kredibilitas), Fathanah (Kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualita) dan tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran).
- khilafah (pemerintahan). Dalam Islam, peranan yang dimainkan pemerintah terbilang kecil akan tetapi sangat vital dalam perekonomian. Peranan utamanya adalah memastikan bahwa perekonomian suatu negara berjalan dengan baik tanpa distorsi dan telah sesuai dengan syariah.
- Ma’ad (hasil). Imam Ghazali menyatakan bahwa motif para pelaku ekonomi adalah untuk mendapatkan keuntungan/profit/laba. Dalam islam, ada laba/keuntungan di dunia dan ada laba/keuntungan di akhirat.
C. Dasar-dasar Ekonomi Islam
- Muslim tidak
boleh berurusan dengan riba (larangan Riba).Larangan ini adalah
untuk semua transaksi berbasis bunga, baik memberi atau menerima, apakah
berhubungan dengan muslim atau non-Muslim. Nabi Muhammad (saw) mengutuk
orang-orang yang membayar bunga, mereka yang menerimanya, mereka yang
menulis kontrak berdasarkan hal itu, dan mereka yang menyaksikan kontrak.
2. Larangan untuk mendapatkan properti atau kekayaan dengan penipuan, pencurian, atau kebohongan lainnya.
3. Dibenci wali yang mengambil harta anak yatim dengan cara batil.
4. Larangan berpenghasilan dari judi, lotere dan juga dari produksi atau penjualan atau pendistribusian dari khamr (barang yang memabukan).
5. Larangan menimbun makanan dan kebutuhan dasar lainnya.
6. Seorang Muslim harus bertanggung jawab dalam membelanjakan hartanya.
7. Seorang Muslim harus membayar zakat
8. Seorang muslim didorong untuk selalu bersedekah (baik dengan infak maupun wakaf)
D. Asas-asas Sistem
Ekonomi Islam
Kepemilikan adalah tatacara yang ditempuh oleh manusia
untuk memperoleh kegunaan dari suatu jasa ataupun barang. Adapun definisi
kepemilikan menurut syara’ adalah idzin dari al-syaari’ (pembuat hukum)
untuk memanfaatkan suatu al-‘ain (dzat). Al-Syaari’ di sini adalah Allah
swt. Adapun al-‘ain adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan ‘izin’
adalah hukum syara’. Jenis-jenis kepemilikan ada tiga, yaitu kepemilikan
individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
1. Kepemilikan Individu (al
milkiyyah al fardiyyah).
Kepemilikan individu adalah izin dari Allah swt kepada
individu untuk memanfaatkan sesuatu.
Hak individu dan kewajiban negara terhadap kepemilikan
individu:
a. Hak kepemilikan individu adalah hak syar’iy bagi
individu. Seorang individu berhak memiliki harta yang bergerak maupun tidak
bergerak seperti mobil, tanah, dan uang tunai. Hak ini dijaga dan diatur oleh
hukum syara’.
b. Pemeliharaan kepemilikan individu adalah kewajiban
negara. Oleh karena itu, hukum syara’ telah menetapkan adanya sanksi-sanksi
sebagai tindakan preventif (pencegahan) bagi siapa saja yang menyalahgunakan
hak tersebut.
Sebab-sebab Kepemilikan Individu
Syaria’at Islam telah membatasi sebab-sebab
kepemilikan harta oleh individu dengan lima sebab, yaitu :
a. Bekerja dalam perdagangan, industri, dan pertanian
b. Warisan
c. Kebutuhan kepada harta sekedar untuk mempertahankan
hidup.
d. Pemberian harta oleh negara kepada rakyatnya.
e. Harta yang diperoleh seorang individu tanpa ada
kompensasi apapun, seperti pemberian (hibah), hadiah, diyat, mahar dan
shadaqah.
2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyah al-‘aammah)
Kepemilikan umum adalah izin dari al-Syaari’ kepada al-
jamaa’ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
Kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga, yakni:
a. Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi
masyarakat, yang akan menyebabkan persengketaan tatkala ia lenyap; seperti air,
padang rumput, dan api. Rasulullah saw bersabda:
Manusia berserikat dalam 3 hal yaitu air, padang
rumput, dan api.
Yang juga
termasuk setiap peralatan yang digunakan untuk mengelola fasilitas umum,
seperti alat pengebor air yang dibutuhkan oleh masyarakat umum, beserta
pipa-pipa yang digunakan untuk menyulingnya (menyalurkannya). Demikian juga
peralatan yang digunakan sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan air milik
umum (PLTA), tiang-tiang, kabel-kabel, dan stasiun distribusinya.
b. Segala sesuatu yang secara alami, mencegah untuk
dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan; seperti, jalanan, sungai,
laut, danau, mesjid, sekolah-sekolah negeri, dan lapangan umum. Sabda
Rasulullah saw:
Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan
Rasul-Nya. (HR. Bukhori, Abu Dawud, Ahmad)
Makna hadits ini adalah, tidak ada hak bagi seorangpun
untuk memberikan batasan atau pagar (mengkapling) segala sesuatu yang
diperuntukkan bagi masyarakat umum.
c. Barang tambang yang
depositnya sangat besar. Dalilnya, adalah hadits riwayat Ibnu Majah (2466) dan
Ad Darimi (2494) dengan sanad hasan, dari Abyadh bin Hamal bahwa ia telah
meminta kepada Rasul saw untuk mengelola tambang garam disuatu daerah yg tidak
berair (dekat bendungan ma’rib). Rasulullah memberikannya. Setelah ia
pergi, Al Aqra` bin Habis At Taimi berkata;
"Wahai Nabiyullah, sesungguhnya aku telah
mendatangi garam itu pada masa Jahiliyah, yaitu dilahan yang tidak ada airnya,
lalu orang-orangpun datang dan mengambilnya. Garam tersebut seperti air yang
tidak habis-habisnya." Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam lalu meminta agar pemberian garam kepadanya dibatalkan,
Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya tambang
garam tersebut adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas
depositnya.
3. Kepemilikan Negara (al-milkiyyah al-daulah)
Kepemilikan negara adalah setiap harta yang
pengelolaannya diwakilkan pada khalifah sebagai kepala negara. Jenis-jenis
harta tersebut adalah seperti; ghanimah (rampasan perang), jizyah (pajak untuk
orang kafir), kharâj, pajak, harta orang-orang murtad, harta orang yang tidak
memiliki ahli waris, panti-panti dan wisma-wisma bagi aparat pemerintahan yang
dibuka oleh daulah Islam, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara.
Pengelolaan kepemilikan adalah tata cara yang seorang
muslim wajib terikat dengan tata cara tersebut tatkala ia mempergunakan harta.
Syari’at Islam telah membatasi tata cara ini dengan hukum-hukum syara’; dalam
dua perkara, yaitu; pengembangan kepemilikan dan pengeluaran harta.
1. Pengembangan Kepemilikan (تنمية الملكية)
Islam telah mensyari’atkan hukum-hukum tertentu bagi
pengembangan kepemilikan, baik dalam perdagangan, pertanian, ataupun industri.
Dalam urusan perdagangan Islam telah memperbolehkan jual-beli, ijaarah
(upah mengupahi) dan syirkah (perseroan). Selain itu, Islam telah
mengharamkan riba, penimbunan (ihtikaar), penipuan, perjudian,
dan lain-lain.
Dalam masalah pertanian, Islam membolehkan untuk
memiliki tanah untuk ditanami. Di sisi lain, Islam telah mengizinkan mengambil
tanah tersebut dari pemiliknya jika ia tidak mengelolanya selama 3 tahun
berturut-turut.
Dalam persoalan industri, Islam membolehkan seorang
muslim memiliki pabrik, memproduksi, dan menjual hasil-hasil produksinya. Akan
tetapi produk tersebut terbatas pada hal-hal (benda/barang) yang dihalalkan.
2. Pengeluaran Harta (infaaq ul maal)
Syara’ telah menetapkan beberapa cara untuk
mengeluarkan harta, yang antara lain adalah:
1. Zakat, sebagai kewajiban bagi setiap individu yang
terkena beban kewajiban ini.
2. Membelanjakan harta untuk keperluan dirinya dan
untuk orang-orang yang harus di beri nafkah seperti istri, kedua orang tua,
anak-anak, yang hukumnya adalah wajib.
3. Silaturahim dengan saling memberi hadiah, yang
hukumnya adalah sunnah.
4. Shodaqoh untuk orang-orang fakir dan orang-orang
yang membutuhkan, yang hukumnya adalah sunnah.
5. Mengeluarkan harta untuk keperluan jihad, yakni
membeli senjata, mempersiapkan tentara, sebagaimana yang pernah dilakukan para
shahabat Nabi shahabat saat perang Tabuk dan perang lainnya, yang dalam hal ini
hukumnya adalah fardhu kifayah.
Selain itu, Islam telah mengharamkan beberapa macam
cara pengeluaran harta, yakni:
1. Israaf (melampaui batas) dan tabdzîr
(mubadzir), yakni mengeluarkan harta dalam hal yang diharamkan dan dalam rangka
kemaksiatan.
2. Risywah (sogok),
yaitu pemberian harta kepada orang-orang yang memiliki wewenang untuk
melaksanakan suatu urusan tertentu diantara urusan-urusan rakyat, seperti
pegawai pemerintahan dan para penguasa, agar mereka (orang yang memiliki
wewenang) melaksanakan urusan tersebut (padahal seharusnya urusan tersebut
wajib dilaksanakan tanpa mendapatkan imbalan)
3. Kikir (al bukhl) dan pelit (taqtiir),
yakni tidak mengeluarkan harta yang diwajibkan atas seorang muslim. Misalnya
tidak mengeluarkan zakat dan nafkah yang wajib baginya untuk ditunaikan kepada
orang yang kesusahan. Firman Allah swt:
Dan orang-orang tidak (pula) kikir dan adil
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian (TQS. Al Furqaan: 67).
Pengeluaran harta oleh daulah Islam dilakukan pada
sebuah kondisi yang mengharuskan negara melakukan tugas-tugas wajib bagi kaum
muslim secara keseluruhan, misalnya memberi makan orang-orang yang menderita
kelaparan, sebagaimana yang pernah terjadi pada ‘âm ar ramadâh (tahun
paceklik) di masa Umar bin Khaththab.
Terdapat 3 cara, yaitu:
1. Kewajiban Zakat.
2. Negara mendistribusikan hartanya kepada individu
rakyat yang membutuhkan tanpa imbalan, seperti sebidang tanah yang diberikan
kepada orang yang mampu (kuat) untuk mengelolanya (menanaminya), dan
mengeluarkan harta kepada mereka (orang yang membutuhkan) yang diambil dari
harta kharaaj dan jizyah.
Syari’at Islam melarang penimbunan emas dan perak
dalam kapasitasnya sebagai alat tukar --harga untuk membeli barang dan jasa--,
agar uang tetap terinvestasikan di dalam lapangan pertanian, perdagangan dan
industri. Dengan demikian, niscaya pengangguran akan dapat dihapuskan,
sekaligus akan sangat membantu pendistribusian kekayaan.
3. Islam telah menetapkan aturan mengenai pembagian
harta warisan di antara para ahli waris. Dengan demikian, niscaya akan dapat
terdistribusikan bentuk-bentuk kekayaan yang berskala besar. Allahu Ta’ala
A’lam.
E. Sumber-sumber
Ekonomi Islam
1. Al-Qur’an adalah
sumber utama pengetahuan sekaligus sumber hukum yang memberi inspirasi
pengaturan segala aspek kehidupan. Dengan menggunakan Al-Qur’an berarti manusia
menjalani hidup dengan mengacu pada buku pedoman dari yang menciptakan
manusia karena yang paling tahu tentang manusia .
2. Ijma’ adalah
konsensus opini dari sahabat dan atau ahli hukum Islam (fuqoha’, mufti) atas
masalah tertentu yang tidak secara eksplisit dijelaskan Al-Qur’an dan Sunnah.
Salah satu contoh adalah ijma’ tentang keabsahan kontrak jual beli
komoditi yang belum diproduksi (aqad Al-Istisna).
3. Ijtihad, adalah
penggunaan alasan logika rasional dalam melakukan interpretasi atas teks
Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al-Qur’an disebutkan tentang kedudukan dan fungsi
akal.
Dengan
terbukanya kembali pintu ijtihad maka akan semakin meningkatkan keeratan Ilmu
Ekonomi Islam dengan fiqh, karena disebabkan adanya ilmu ekonomi konvensional
yang banyak dianut negara-negara muslim dan kekuatan fiqh. Analisis ekonomi
akan memberikan berbagai cara menyelesaikan permasalahan yang selalu berkembang,
sementara fiqh akan merespon dengan ikut memberikan solusi yang
merekomendasikan perkembangan zaman. Apabila ini dapat terbentuk akan mendorong
interaksi antara para ekonom dengan fuqaha yang selanjutnya akan memberikan
pemahaman pada masing-masing untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang
muncul saat ini. Pada tahapan yang lebih jauh akan terwujud yang sering disebut
saintifikasi ilmu agama dan Islamisasi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
ekonomi.
F.Ciri-ciri Ekonomi
Islam
Ekonomi islam memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
Memelihara fitrah manusia .
1.
Memelihara norma-norma akhlak
.
2.
Memenuhi keperluan-keperluan masyarakat
3.
Kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagian
daripada ajaranagama Islam
4.
Kegiatan ekonomi
Islam mempunyai
cita-cita luhur, yaitu bertujuan berusaha
untuk mencari keuntungan
individu, disamping melahirkan
kebahagiaan bersama bagi masyarakat.
5.
Aktivitas-aktivitas ekonomi islam sentiasa diawasi oleh hukum-hukum islam dan perlaksanaannya
dikawal pula oleh pihakpemerintah
6.
Ekonomi islam menseimbangkan antara
kepentingan individudan masyarakat
G. Tujuan Ekonomi dalam Islam
Tujuan-tujuan
kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam :
1. kegiatan
ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam
batas-batas norma-norma moral Islami. Agama Islam membolehkan manusia untuk
menikmati rezeki dari Allah namun tidak boleh berlebihan dalam pola konsumsi. Di samping itu
Allah SWT mendorong umat-Nya untuk bekerja keras mencari rezeki setelah setelah
melakukan shalat Jum’at (QS. 62:10). Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia
seperti bertani, berdagang, dan usaha-usaha halal lainnya dianggap sebagai
ibadah. Hal ini menujukkan bahwa usaha untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi
yang lebih baik harus menjadi salah tujuan masyarakat muslim.
2. tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk
membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal. Islam menginginkan
terbinanya tatanan sosial di mana semua individu mempunyai rasa persaudaraan
dan keterikatan layaknya suatu keluarga yang berasal dari orangtua yang sama
(QS. 49:13).
Dengan
demikian, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia jangan sampai menimbulkan
rasa permusuhan, peperangan, dan ketidakadilan ekonomi sebagaimana yang masih
banyak dijumpai pada saat ini. Dengan adanya rasa persaudaraan sesama umat
manusia, tidak akan timbul perebutan sumber-sumber ekonomi dan yang timbul
adalah bertolong-tolongan untuk kesejahteraan bersama (QS. 5:2)
3. distribusi pendapatan yang
seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia
dan keadilan. Oleh karena itu, ketidakadilan ekonomi tidak dibenarkan dalam
Islam. Ketidakmerataan ekonomi tersebut hanya akan meruntuhkan rasa
persaudaraan antar sesama manusia yang ingin dibina oleh Islam. Menurut ajaran
Islam, semua sumber daya yang tersedia merupakan ‘karunia Allah SWT yang
diberikan kepada semua manusia’ (QS. 2:29), sehingga tidak ada alasan kalau sumberdaya ekonomi itu hanya terkonsentrasi
pada beberapa kelompok manusia (QS. 59:7).
Pemerataan
tersebut dapat dilakukan melalui zakat, infak, shadaqah, wakaf, dan
transaksi-transaksi halal lainnya yang dikelola dengan baik sesuai dengan
spirit yang dikandungnya.
4. tatanan ekonomi dalam
Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan
sosial. Salah satu misi yang diemban oleh Muhammad saw adalah untuk melepaskan
manusia dari beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka (QS. 7:157).
Khalifah Umar bin Khatab mengatakan, “Sejak kapan kamu memperbudak manusia
padahal ibu-ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” Imam Syafii
juga mengatakan, “Allah menciptakan kamu dalam keadaan merdeka, oleh karena itu
jadilah manusia yang merdeka.” meskipun demikian, kebebasan individu dalam
konteks kesejahteraan sosial haruslah dalam batas-batas yang ditentukan oleh
Islam. Artinya kebebasan itu jangan sampai berkonflik dengan kepentingan sosial
yang lebih besar dan hak-hak orang lain
H. Lembaga Ekonomi Islam
Perkembangan
lembaga-lembaga ekonomi Islam semakin semarakdi
Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.Contoh dari lembagaekonomi islam diantaranya:
1.perbankan syari’ah
2.lembaga
asuransi syari’ah
3.reksadana syari’ah
4.pegadaian syari’ah.
5.lembaga zakat
I.Riba dalam Islam
stilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:
(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.
Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.”
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.”
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.”
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.”
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.”
Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.
Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.”
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.”
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.”
Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu.
Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”
Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaranDari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya.
Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.
Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’”
Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).
5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
No comments:
Post a Comment